Archive for the ‘Hukum’ Category

nzabonimana

Beberapa hari yang lalu linimasa FB memuat tulisan Denny Siregar yang dibagikan oleh seorang teman tentang Rwanda dan Partai Komunis Indonesia. Saya membacanya sekilas dan sudah tahu maksudnya. Ternyata, tulisan tersebut tidak bersumber dari data, hanya asumsi belaka. Silakan jika Bung Denny tak sepakat dengan tanggapan saya ini, terbuka untuk kritik tanpa harus nyinyir. Saya benci dengan sikap nyinyir oleh pihak mana pun. Silakan dikritik, koreksi, atau apa pun tulisan ini. Tentunya, tanpa harus nyinyir. Data vs data. Ok?

Terkait tulisan perbandingan antara Rwanda dengan Indonesia. Tulisan yang disajikan hanya menggampangkan masalah tanpa melihat proses yang mengikutinya. Bung Denny Siregar dengan gamblang menyebut, “Tahun 2014, Rwanda memperingati 20 tahun genosida itu. Menarik bahwa Rwanda tidak pernah mempermasalahkan “siapa yang benar dan siapa yang salah” pada waktu genosida itu. Mereka hanya menyesalkan ‘tragedi kemanusiaannya’”. Dari rangkaian tulisan tersebut, saya mendapat kesan bahwa Rwanda telah menuntaskan masalah genosida yang pernah mereka alami dengan sembuh sendiri. Apa benar?

baca selengkapnya…

The Hague NL International criminal court.

Pernyataan pengacara HRS tentang langkah yang akan ditempuh pasca penetapan tersangka cukup menarik. Menantang “adrenalin” karena tampak gagah dan garang. Optimistik dan sangat percaya diri.

(lebih…)

Istilah eksil mencuat di Indonesia pasca Presiden Wahid (Gus Dur) menjulukinya sebagai “orang-orang kelayapan” dan berusaha memulangkan mereka. Orang-orang yang terhalang pulang bukan atas kemauan sendiri, tapi paksaan negara pasca huru-hara 1965. Mereka menyebar di negara-negara Eropa, dari timur hingga barat. Bahkan ada yang “menyasar” hingga Kuba, bolivia, Korea Utara, dan lainnya.

(lebih…)

perppu-ormas-ilustrasi-_170720173138-115

Timeline ku berhiaskan 2,5 kategori terkait Perrpu No.2/2017 tentang Perubahan UU No. 17/2017 Tentang Ormas. Mereka wira-wiri bergantian jadi pertamax. Tak masalah, inilah pro dan kontra, biasa-biasa saja dan menyehatkan pikiran.

Lho, kok 2,5 kategori? Yap, karena ada 1 kategori yang ku pecah karena berbeda pandangan dalam menafsirkan demokrasi. Padahal hal ini merupakan hal paling mendasar. Namun, abaikan saja dulu hal ini.

(lebih…)

Membakar dan melarang buku bukanlah hal baru di Indonesia. Sejarah mencatat, penguasa Indonesia telah beberapa kali melarang peredaran dan membakar buku. Pelarangan dan pembakaran buku ini paling massif terjadi kala Suharto berkuasa. Apa pun yang berpotensi memunculkan sikap kritis bakal diberangus.

Berbagai naskah yang telah dikerjakan bertahun-tahun dibakar oleh rezim Suharto sudah biasa terjadi. Naskah-naskah karya Pramoedya Ananta Toer menjadi salah satu korban “kebejatan” perangai ini. Novel “Gadis Pantai” yang begitu memesona bakal sangat indah jika naskah novel Gadis Pantai 2 dan 3 tak ikut dibakar. Juga naskah Ensiklopedi Indonesia yang juga turut dibumihanguskan.
baca selengkapnya…>

Saat itu sore yang biasa-biasa saja bagi ku. Tak ada ubahnya dengan sore-sore sebelumnya. Matahari tetap tampak gagah meski saat itu menunjukan waktu maghrib jika di tanah air. Matahari tetap terik dengan sesekali hujan mengguyur bumi. Meski jam menunjukan hampir pukul 19.00, geliat manusia masih terus berjalan dengan pancaran mentari yang masih menyengat. Itulah wajah sore pada musim panas 2013 di Moskow, Rusia.

Setelah membereskan tugas ujian akhir semester, media sosial di laptop menunjukan adanya pesan notifikasi. Pengirim pesan bukan orang yang ku kenal sebelumnya, sama sekali. Perkenalan diri dilakukan di pesan tersebut. Ternyata, pengirim pesan merupakan temannya teman media sosial yang beberapa hari sebelumnya ku temui. Apa pun itu, bertambah teman satu di media sosial dan terus berlanjut sampai sekarang (offline).

baca selengkapnya…>

Saat awal paspor dicabut oleh Pemerintah Indonesia via KBRI Moskow merupakan masa yang cukup berat bagi para mahasiswa di Uni Soviet. Informasi tentang kondisi tanah air harus dicari dari media lain. KBRI Moskow sudah tertutup bagi mereka karena sudah tak diakui lagi sebagai WNI. Radio dan koran menjadi satu-satunya sarana yang paling memungkinkan. Indonesia pun terasa semakin jauh dah sulit dijangkau.

Kabar tentang Indonesia saat itu simpang-siur adanya. Lambat laun seiring perjalanan waktu, informasi tentang kondisi Indonesia pasca transisi politik berdarah (1965) dapat mereka peroleh.  Akhirnya, mereka pun sadar. Harapan untuk bisa pulang kembali ke Indonesia demi tepati janji ketika berangkat ke Uni Soviet semakin kabur. Namun, ada juga yang masih menyisakan harapan untuk bisa pulang. “Barangkali, 3-5 tahun lagi kondisi akan normal kembali.” Itulah sejengkal harapan yang ada di tengah ketidakpastian.
baca selengkapnya…>