Perhimpunan Bangsa-Bangsa di Asia Tenggara atau Associatiopn of South East Asian Nations (ASEAN) melangkah lebih maju dalam menyikapi situasi di Myanmar. Pada KTT ke-43 yang selesai pekan lalu di Indonesia, ASEAN memutuskan untuk melompati Myanmar sebagai Ketua ASEAN pada 2026 dan digantikan oleh Filipina. Selain itu, Myanmar juga tidak diundang dalam KTT ASEAN tahun ini. Kedua hal di atas terjadi karena Myanmar dinilai belum melaksanakan lima konsesus yang dihasilkan pada ASEAN Leaders Meeting pada 24 April 2021 silam. Namun, apakah “sanksi” tersebut sudah cukup?

            Perubahan sikap ASEAN terhadap masalah dalam negeri anggotanya ini layak untuk diapresiasi. Selama ini, ASEAN selalu menggunakan tameng prinsip non-intervensi terhadap permasalahan domestik negara anggotanya. Prinsip non-intervensi ini digunakan secara ketat dan letterlijk tanpa melihat konteks yang sedang terjadi. Prinsip ini tak selaras dengan agenda ASEAN Community karena memunyai cita-cita yang berbeda dengan kondisi real negara anggotanya. Sangat aneh jika bercita-cita melakukan demokratisasi dan penerapan tanggung jawab negara terhadap hak asasi manusia tetapi hanya bisa diam diri saja saat salah satu atau lebih negara anggota ASEAN melakukan prinsip sebaliknya dalam tataran domestik.

             Prinsip non-intervensi yang diterapkan ASEAN secara kaku tersebut menjadi pertanyaan lanjutan mengenai model regionalisme yang hendak diimplementasikan. Jika merunut pada hasil-hasil pertemuan dekade 2000-an, ASEAN memunyai kecenderungan untuk mengadaptasi model regionalisme Uni Eropa. Namun, sampai saat ini, ASEAN belum mampu menjadi organisasi “supranasional” selayaknya Uni Eropa. Integrasi kawasan masih menjadi wacana yang terdokumentasikan dengan baik dan belum bisa diwujudkan secara nyata. Konsepsi “kepentingan ASEAN” belum terbentuk karena semua kesepakatan-kesepakatan yang ada masih berbasis national interest masing-masing anggota.

            Integrasi setengah hati dalam ASEAN harus diubah dengan melakukan reformasi terhadap prinsip non-intervensi. Setidaknya, ASEAN harus berani berubah dengan mengabaikan prinsip non-intervensi untuk kasus tertentu yang berhubungan dengan keselamatan manusia sebagaimana tertuang dalam beragam dokumen tentang pentingya prinsip people centered (Martel, 2022). Artinya, prinsip non-intervensi ASEAN perlu ditanggalkan ketika berhadapan dengan dugaan adanya the most serious crime yang terjadi di negara anggotanya. Kesepakatan tersebut perlu diambil agar tidak terjadi lagi peristiwa-peristiwa pelanggaran HAM yang berat di negara anggota ASEAN.

Dalam hal ini, ASEAN perlu membuka diri terhadap konsepsi responsibility to protect (R2P) untuk mencegah terjadinya the most serious crime pada masa mendatang. Menurut Andersen-Rodgers dan Crawford (2023), ada tiga pilar utama ketika konsepsi R2P hendak diterapkan, yakni: pertama, perlindungan warga negara atas terjadinya genosida, kejahatan perang, pembersihan etnis, dan kejahatan terhadap kemanusiaan (the most serious crime). Kedua, dukungan komunitas internasional ketika suatu negara hendak menerapkan R2P. Ketiga, komunitas internasional harus mengambil tindakan (secara multilateral) jika suatu negara tidak mampu melaksanakan tanggung jawab untuk melindungi warganya.

Ketiga pilar di atas menunjukan, prinsip non-intervensi bisa menjadi penghalang utama atas beragam upaya untuk memastikan keselamatan manusia dari berbagai bentuk abuse of power yang luar biasa oleh negara. Hal tersebut terbukti ketika krisis pengungsi Rohingya terjadi di Myanmar yang mana ASEAN tidak bisa mengambil aksi nyata untuk mencegah terjadinya kekerasan terhadap orang-orang Rohingya. Himbauan maupun bujukan tidak akan mampu menghentikan keinginan suatu rezim jika hal tindakan tersebut diambil atas nama “kepentingan nasional.”  

Eksistensi ASEAN Inter-Governmental Commission on Human Rights (AICHR) harus dioptimalkan fungsinya. AICHR tak bisa lagi hanya menjadi “make up” agar ASEAN tampak punya perhatian lebih terhadap isu-isu kemanusiaan. ASEAN harus lebih berdaya dalam melindungi manusia yang hidup di kawasan ini. Oleh karena itu, prinsip non-intervensi yang selama ini menjadi ciri khas ASEAN perlu ditelaah ulang, terutama untuk isu terkait dugaan the most serious crime. ASEAN harus menepatkan prinsip “people centered” sebagai tiang utama di tengah perubahan bentuk konflik global dan perluasan konsepsi keamanan yang lebih bersifat antroposentrisme.

Pentingnya Penguatan AICHR

            Badan HAM ASEAN atau yang biasa disebut AICHR yang dibentuk pada 2009 merupakan kemajuan luar biasa dari organisasi Kawasan ini. AICHR diharapkan menjadi institusi yang senantiasa terus menggaungkan hak asasi manusia (HAM) di antara negara-negara anggota ASEAN. Namun, keberadaan AICHR belum memunyai dampak signifikan terhadap perubahan situasi HAM kawasan sejak pembentukannya. Hal tersebut bisa dilihat dari masih maraknya pelanggaran HAM yang terjadi di negara-negara anggota ASEAN. Bahkan, junta militer masih memunyai kekuasaan luar biasa di Myanmar. Lebih jauh lagi, terjadi dugaan genosida terhadap orang Rohingya di Myanmar yang mana hal tersebut menunjukan bahwa AICHR masih hanya menjadi sekedar simbol saja.

            Penguatan AICHR ini bukan berarti memberikan ruang kepada badan ini untuk bertindak melampaui kewenangannya. AICHR perlu diberi kewenangan untuk melakukan serangkain penyelidikan atas dugaan terjadinya the most serious crime atas mandat pemimpin negara anggotanya melalui mekanisme yang tersedia. Tanpa diberikan kewenangan yang memadai, AICHR akan kehilangan fungsinya sebagai badan yang memunyai fungsi terkait aspek HAM. Kewenangan terbatas ini akan memberikan nuansa baru bagi ASEAN dalam implementasi prinsip people centered.

September 2023

Richard Goldstone yang mewakili United Nations Fact Finding Mission on the Gaza Conflict pada Sesi ke-12 Dewan Hak Asasi Manusia (29 September 2009) Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) menyatakan, impunitas di Timur-Tengah sudah terjadi sejak lama. Ketiadaan akuntabilitas atas pidana perang dan kejahatan terhadap kemanusiaan memungkinkan peristiwa serupa terulang kembali. Ketiadaan keadilan semakin melemahkan proses perdamaian dan mendorong terjadinya kekerasan serupa. Kondisi demikian terjadi secara repetitif akibat adanya impunitas karena hal tersebut menjadi instrumen pembenarannya.

Pernyataan Goldstone di atas sangat relevan dengan situasi terakhir konflik Palestina-Israel yang kembali membara sejak dua pekan lalu. Beragam bentuk kekerasan terjadi yang menyebabkan jatuhnya banyak korban jiwa dari kalangan sipil. Dari berbagai laporan media massa, per 19 Desember 2023, jumlah korban jiwa akibat konflik yang sekarang terjadi mencapai hampir lima ribu orang. Jumlah ini akan meningkat seiring belum adanya tanda-tanda terjadinya de-ekskalasi konflik di antara dua pihak yang berseteru tersebut.

Sikap diam mayoritas masyarakat internasional menggambarkan adanya dualism dalam melihat konflik internasional. Pertama, sangat responsif ketika kekerasan terjadi di negara sekutu mereka. Kedua, cenderung masa bodoh jika kekerasan dialami negara bukan sekutu. Ini tercermin dari sikap Amerika Serikat dan Uni Eropa beserta koalisinya dalam memandang peristiwa yang terjadi di Ukraina dan Palestina. Negara dan organisasi regional yang selama ini berbicara lantang tentang hak asasi manusia (HAM), ternyata menutup mata atas penderitaan rakyat Palestina.

Sikap diam ini merupakan bagian dari impunitas yang Goldstone sampaikan di Dewan HAM PBB pada 14 tahun silam. HAM masih dimaknai secara parsial dan temporal, tergantung konteks politik serta kepentingan suatu negara atau organisasi internasional. HAM masih belum menjadi suatu platform kebijakan yang berlaku untuk semua tanpa memandang identitas politik, sosial, dan kultural korban kekerasan. Apa yang terjadi di Palestina dan Ukraina hari ini merupakan penegasan dari conudrum kebijakan luar negeri terhadap isu HAM yang sangat subyektif.

Banyaknya pernyataan keprihatinan yang disampaikan oleh banyak kepala negara/pemerintahan terhadap situasi di Palestina tidak lah cukup untuk mencegah jatuhnya korban jiwa lebih banyak lagi. Masyarakat internasional harus bergerak lebih jauh lagi melalui mekanisme multilateral, baik dalam skala internasional maupun regional. Aksi brutal tentara Israel harus segera dihentikan, termasuk provokasi Hamas yang bisa memicu konflik lebih dalam lagi. Penggalian alternatif penyelesaian masalah impunitas perlu dilakukan meskipun harus mengabaikan mekanisme PBB karena berpotensi mendapatkan veto.

Ada beberapa alternatif yang bisa dilakukan untuk mengakhiri ragam impunitas di Timur-Tengah, khususnya terkait masalah konflik Palestina-Israel. Pertama, Dewan HAM PBB perlu mendesak Mahkamah Pidana Internasional (International Criminal Court-ICC) untuk segera mengambil keputusan terkait investigasi atas dugaan terjadinya the most serious crime di Palestina. Langkah ini sangat strategis mengingat Palestina menjadi pihak yang melakukan aksesi terhadap Statuta Roma sehingga memunyai legal standing untuk beperkara di pengadilan pidana internasional.

Indonesia sebagai ketua Dewan HAM PBB perlu untuk segera mengagendakan suatu forum konsultasi dengan ICC terkait penyelidikan kekerasan di Palestina. Posisi strategis sebagai Ketua Dewan HAM PBB harus dioptimalkan untuk mengakhiri impunitas yang terjadi, khususnya terkait kekerasan di Palestina. Tanpa ada upaya mengakhiri impunitas, kekerasan yang terjadi sebagai imbas konflik Palestina-Israel akan terus bertambah.

Konsultasi antara Dewan HAM PBB dengan ICC menjadi sangat penting agar proses perdamaian di Kawasan Timur-Tengah bisa membuahkan hasil. Setidaknya, tidak ada alasan pembenar untuk terus melakukan kekerasan secara sistematis dan meluas terhadap warga sipil Palestina maupun Isareal. Aksi ini sangat penting mengingat Jaksa ICC bisa dengan singkat menetapkan Presiden Vladimir Putin dan Komisaris Hak Anak Maria Alekseyevna Lvova-Belova sebagai tersangka kejahatan perang dalam kasus penculikan anak-anak Ukraina. Hanya dalam kurun waktu satu tahun, ICC sudah mengambil sikap yang mana hal tersebut bertolakbelakang dengan penyelidikan kejahatan di Palestina.

Kedua, organisasi regional yang semakin mendapatkan peran memadai dalam politik internasional perlu mengambil tindakan nyata dengan melakukan embargo atau blokade ekonomi terhadap Israel. Embargo atau blokade ekonomi ini sangat penting agar Israel tak lagi melakukan abuse of power terhadap penduduk Palestina. Kebijakan blokade ekonomi Uni Afrika pada 1997 terbukti efektif menghentikan kekerasan di Sierra Leone. Perluasan tanggung jawab untuk mengakhiri impunitas hingga ke level regional berdasarkan pengalaman tidak efektifnya mekanisme PBB akibat veto anggota tetap Dewak Keamanan PBB.

Blokade atau embargo ekonomi ini perlu didorong oleh Indonesia melalui ASEAN. Indonesia sebagai Ketua ASEAN perlu memanfaatkan posisi strategis ini untuk memimpin pelaksanaan blokade atau embargo ekonomi terhadap Israel. Hal ini penting mengingat hampir semua negara anggota ASEAN melakukan aktivitas ekonomi dengan Israel meskipun beberapa di antaranya tidak memunyai hubungan diplomatik. Ini sangat penting untuk menegaskan adanya transformasi di tubuh ASEAN ketika berhadapan dengan persoalan the most serious crime.

Dua hal di atas merupakan aspek penting ketika hendak mengakhiri impunitas di Palestina. Ungkapan keprihatinan, penyesalan, maupun kutukan paling keras pun tidak akan bisa menyelesaikan masalah. Bahkan, sebanyak apa pun bantuan kemanusiaan juga tidak akan bisa mengakhiri penderitaan warga Palestina yang setiap harinya di bawah bayang-bayang ketakutan.

Februari 2024

Saat langit sedang mendung, hitam pekat, hanya ada dua pilihan: siapkan payung sembari terus ke tempat tujuan atau berdiam diri di rumah saja. Masing-masing punya konsekuensi dan harus dihadapi. Terus ke tempat tujuan dengan harapan ketika dalam perjalanan langit kembali cerah. Berdiam diri di rumah saja berarti menerima nasib dan menyalahkan hujan-badai karena tak bisa ke tempat tujuan. No free lunch atas pilihan di atas.

Ini Indonesia. Mustahil untuk kapok sebagai Bangsa Indonesia. Persis dengan pernyataan seorang eksil eks-mahid beberapa tahun lalu. “Meskipun saya berpaspor negara asing, di sini [sambil menunjuk dada] tetap garuda dan merah putih,” tegasnya dengan mantap.

Langit mendung ini harus dihadapi agar tak ada orang yang menebar garam di awan hitam berarak ini. Hujan berarti lahir kewajiban untuk terus bergerak dan berharap agar segera reda serta kembali cerah. Keluarga sudah menunggu di rumah dengan penuh harap dan cemas. Tak mungkin berharap saja dengan berdiam diri karena di dalamnya mengandung ketidakpastian.

“Siapa tahu bisa beri tumpangan payung kepada perempuan jelita yang bingung karena hujan,” kata seorang yang sepanjang hidupnya menjomblo. Ngenes!

Tak ada pilihan lain. Awan hitam berarak harus diterjang sembari bersiap membawa payung/jas hujan.

Ini sama dengan langkah demokrasi kita. Harus terus melaju dan tak boleh stagnan, apalagi bergerak mundur.

Demonstrasi menentang agresi Israel ke Palestina terjadi di berbagi kota dunia. Mereka menyuarakan penghentian/gencatan senjata agar tak banyak lagi warga sipil di Gaza jadi korban. Tentu saja, aksi ini tidak akan sia-sia. Setidaknya sudah melakunan sesuatu.

Ada juga yang berseru agar gunakan hand phone masing-masing sebagai senjata. Bersuara lebih lantang lagi di media-media sosial atau apa pun. Panjang umur perlawanan!

Banyak kepala negara mengutuk agresi Israel terhadap Palestina, baik lantang maupun malu-malu. Mencoba diplomasi di PBB dan fora multilateral lainnya, sudah sering dilakukan. Bagi Israel dan sekutunya, itu tak punya arti sama sekali. Ini fakta!

Namun, apakah aksi tersebut bisa mengubah tabiat Israel? Tanpa mengecilkan arti semua aksi yang dilakukan untuk kemanusiaan di Palestina, itu semua tak ada artinya bagi Israel. Mustahil mereka mau mendengar, apalagi memperhatikan semua seruan dan kutukan tersebut.

Kembali pada nature negara menurut Morgenthau. Atas nama kedaulatan, semua akan dilakukan oleh suatu negara. Apa pun itu! Ingat, relasi antar negara sejatinya lebih bersifat Machiavellian. Apa pun caranya, demi kekuasaan, semua jalan harus ditempuh. Mirip dengan apa yang terjadi di negeri wakanda yang gunakan banyak cara demi keluarga #eh.

Banyak orang bilang, PBB tak adil karena tidak melakukan apa-apa untuk mencegah jatuhnya korban jiwa. Tidak ada stempel pelanggar HAM bagi pemimpin dan komandan tentara Israel. Mekanisme PBB tak memungkinkan untuk memrosesnya ke pengadilan kejahatan kemanusiaan. Semua proses harus melalui Dewan Keamanan PBB. As you good know lah…Semua pasti akan diveto oleh sekutu Israel yang jadi anggota tetap DK PBB.

Jangan pernah lagi berharap kepada PBB selama belum ada reformasi di DK PBB. DK PBB hanyalah kumpulan para pemenang Perang Dunia II yang punya kepentingan ekonomi-politik masing-masing.

Tak ada jalan lain selain blokade ekonomi. Tak ada gunanya lagi berbusa-busa bicara soal kutukan. Harus lebih nyata dan real. Mengapa tidak mengusir semua MNCs yang punya relasi dengan Israel? Itu akan lebih terasa dampaknya. Berani?

Ketika masih menjadi mahasiswa unyu-unyu, saya diajari bahwa negara merupakan pemilik kedaulatan tertinggi. Tak ada kedaulatan di atas negara dalam bentuk organisasi supranasional. Selama rezim westphalia masih eksis, kedaulatan akan tetap menjadi hal utama. Selama rezim westphalia masih eksis, kedaulatan alan tetap menjadi hal utama. Pengetahuan ini pun saya tularkan ke mahasiswa dalam beragam forum.

Namun, pengetahuan tadi harus goncang ketika membaca RUU Cipta Kerja yang sudah disahkan oleh DPR pekan lalu dalam bentuk versi 812 halaman (asli atau bukan, urusan lain. Anggap saja semua versi itu asli). Pasal 32 RUU Cipta Kerja menghapus beberapa pasal dan/atau ayat dalam UU No. 19/2013 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Petani. Dalam hal ini, aturan di atas mencabut hal penting yang menjadi tameng untuk melindungi petani ketika musim panen tiba.

Pasal 15 UU No. 19/2013 mengatur tentang impor produk pertanian. Dalam hal ini, UU tereebut memerintahkan agar impor produk pertanian memperhatikan ketika musim panen tiba. Namun, dalam RUU Cipta Kerja, aturan tersebut dicabut. Tak ada lagi perlindungan terhadap petani ketika panen raya datang.

Lahirnya ketentuan baru tersebut bukan lah datang dengan sendirinya. Tak turun begitu saja dari langit. Setelah mencoba melakukan riset mini, pasal tersebut hadir sebagai respon Indonesia atas putusan Dispute Settlement Body (DSB) World Trade Organization (WTO) dalam sengketa produk pertanian dan holtikultura yang digugat Pemerintah Amerika Serikat. Putusan DSB WTO menyatakan Indonesia bersalah dan harus mengubah semua peraturan perundang-undangan yang dinilai menghambat perdagangan bebas atau membayar retaliasi. Dalam kasus ini, Indonesia memilih opsi pertama. Mengubah peraturan perundang-undangan.

Fenomena ini membuat saya berpikir, “apakah pengetahuan yang saya dapat dan berikan ke mahasiswa itu salah?” Hal ini membuat saya harus memeriksa beberapa literatur tentang “Ilmu Negara”. Saya lega, ternyata pengetahuan yang saya dapat dan berikan tersebut tak salah. Semua menyatakan, negara merupakan pemilik kedaulatan tertinggi.

Tak berhenti di situ saja. Beberapa karya Sukarno pun turut saya buka untuk memastikannya kembali. Jawabannya masih sama, negara merupakan pemilik kedaulatan tertinggi sebagaimana termaktub dalam Traktat Westphalia 1648.

Membaca kembali berbagai karya Sukarno otomatis memaksa untuk kembali menengok tulisan lainnya. Tentu saja, tulisan tentang kisah epic pertemuan Bung Karno dengan Pak Marhaen. Petani yang harus hidup dalam kemiskinan akibat struktur dan sistem yang timpang. Juga mengingat kembali tentang sosio-demokrasi yang menjadi elemen penting dari Marhaenisme. “Semuanya hanya jadi dokumen di atas kertas saja,” gumam ku.

“Revisi” atas semua pengetahuan tersebut harus dilakukan karena Omnibus Law Cipta Kerja. Negara bukan lagi pemilik kedaulatan tertinggi. Supranasionalitas nyata adanya…

Cerita dari Kampus: Sakit (5)

Posted: 21 September 2019 in Arbiter

berapa-slide1

Selama bisa sakit, seseorang berarti manusia sejati. Begitu pula dengan mahasiswa. Mereka juga mahkluk yang bisa sakit. Baik yang benar-benar sakit maupun “jadi-jadian”.

“Mas, lusa malam, saya gabung dengan Dulgemuk untuk belajar bersama,” ujar Paiman.

Baca entri selengkapnya »

Cerita dari Kampus: Menjadi Legenda (4)

Posted: 15 September 2019 in Arbiter

Takut 66, Takut 98

Mahasiswa takut pada dosen
Dosen takut pada dekan
Dekan takut pada rektor
Rektor takut pada menteri
Menteri takut pada presiden
Presiden takut pada mahasiswa
1998

Karya: Taufiq Ismail

Gamang. Itulah potret mahasiswa zaman now. Mereka gamang karena bak disuguhi buah simalakama atau duri dalam daging. Bersetia dengan kata hati atau “mencari aman”.

Suasana seperti ini tentunya membingungkan sang dosen unyu-unyu ini. Sang dosen bukan lah Tuhan yang selalu benar. Si mahasiswa juga bukan lah robot yang mudah diatur. Sayangnya, nalar kritis ini “mati” ketika dihadapkan dengan rangkaian huruf A, B, C, D, dan E di evaluasi semester.

Baca entri selengkapnya »