Posts Tagged ‘sukarno’

Membakar dan melarang buku bukanlah hal baru di Indonesia. Sejarah mencatat, penguasa Indonesia telah beberapa kali melarang peredaran dan membakar buku. Pelarangan dan pembakaran buku ini paling massif terjadi kala Suharto berkuasa. Apa pun yang berpotensi memunculkan sikap kritis bakal diberangus.

Berbagai naskah yang telah dikerjakan bertahun-tahun dibakar oleh rezim Suharto sudah biasa terjadi. Naskah-naskah karya Pramoedya Ananta Toer menjadi salah satu korban “kebejatan” perangai ini. Novel “Gadis Pantai” yang begitu memesona bakal sangat indah jika naskah novel Gadis Pantai 2 dan 3 tak ikut dibakar. Juga naskah Ensiklopedi Indonesia yang juga turut dibumihanguskan.
baca selengkapnya…>

Hantu komunisme berpotensi bangkit. Itulah wacana yang saat ini sedang dibangun oleh penguasa. Orang-orang yang mengenakan segala atribut yang mengandung unsur komunis (palu-arit) ditangkap. Bahkan, lambang komunitas pecinta kopi pun juga jadi sasaran. Barangkali, palu untuk memaku dan arit buat potong rumput yang kita simpan di rumah perlu juga untuk disembunyikan. Kalau perlu, dikubur di halaman rumah karena keduanya mengandung unsur lambang komunisme, palu dan arit.

Berbagai buku tentang pemikiran Karl Marx, Lenin, dan tokoh-tokoh komunis lainnya sedang dicari aparat keamanan untuk disita. Buku tentang sejarah gerakan komunis di Indonesia atau segala sesuatu terkait Partai Komunis Indonesia juga alami hal serupa. Tak ketinggalan pula buku yang halaman depannya bergambar palu-arit juga jadi sasaran penyitaan. Untuk itu, bersegeralah membeli buku-buku tersebut sebelum hilang dari peredaran. Anggap saja investasi karena siapa tahu harganya bakal selangit di kemudian hari karena langka dan tak diproduksi lagi.
baca selengkapnya…>

Pembangunan tata dunia baru yang berkeadilan dan damai menjadi isu sentral pada penyelenggaraan Konferensi Asia-Afrika 60 tahun silam. Kemerdekaan bangsa-bangsa Asia-Afrika dari imperialisme dan kolonialisme berdengung kencang. KAA membawa inspirasi besar bagi bangsa-bangsa Asia-Afrika untuk menuntut kemerdekaan dan kesetaraan. Dalam kurun waktu 30 tahun sejak penyelenggaran KAA, sebanyak 78 negara di kawasan Asia-Afrika memeroleh kemerdekaan.

Dasasila Bandung (Bandung Declaration) menjadi bukti nyata adanya semangat merdeka. Penghargaan tinggi terhadap kemanusiaan, perdamaian, dan kemerdekaan setiap bangsa. Inilah semangat dasar dari KAA yang masih memunyai relevansi dengan situasi ekonomi-politik dunia kontemporer. Kerjasama antar negara anggota KAA bukan sekedar bisnis biasa, tapi lebih kepada solidaritas antar-bangsa.
baca selengkapnya…

Pekerja seks komersial (PSK) bukannya tanpa peran di dalam sejarah. Di negeri ini, mereka pernah jadi anggota partai, laskar, bahkan kata-katanya jadi alat propaganda.

BUPATI Kendal, Widya Kandi Susanti, membuat pernyataan kontroversial. Dia menganggap “Pekerja Seks Komersial (PSK) adalah pahlawan keluarga, karena mereka umumnya bekerja untuk menghidupi keluarga. Dalam kondisi itu, tidak manusiawi kalau tempat pelacuran ditutup,” demikian dikutip tribunnews.com.

Seberapa besar dan penting peran PSK –yang dulu kerap disebut wanita tuna susila atau “Kupu-Kupu Malam” kata penyanyi Titiek Puspa– dalam sejarah Indonesia?

Dalam otobiografinya, Bung Karno: Penyambung Lidah Rakyat Indonesia karya Cindy Adams, Sukarno membuktikan pentingnya peran wanita tuna susila. “Pelacur adalah mata-mata yang paling baik di dunia. Dalam keanggotaan PNI (Partai Nasional Indonesia) di Bandung terdapat 670 orang perempuan yang berprofesi demikian dan mereka adalah anggota yang paling setia dan patuh,” kata Sukarno.
baca selengkapnya…

JAKARTA, KOMPAS.com — Bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai jasa para pahlawannya. Bentuk penghargaan terbaik untuk negara yang pernah terjajah adalah melaksanakan wasiat mereka yang membuka gerbang kemerdekaan pada 17 Agustus 1945.

Wasiat paling nyata dari pendiri bangsa ini adalah simbol-simbol yang menunjukkan jati diri bangsa ini, yaitu Garuda Pancasila – Bhinneka Tunggal Ika, bendera merah putih, dan lagu kebangsaan “Indonesia Raya”.
baca selengkapnya…

Ada dua moment paling bersejarah dalam sejarah suksesi kekuasaan di Indonesia. Dua moment ini melahirkan era baru dalam dinamika ekonomi dan politik dengan ekses berbeda. Namun, kedua moment ini melahirkan suatu kepastian dan kualitas kepemimpinan masing-masing, terlepas latar belakang munculnya peristiwa tersebut. Keduanya memunyai kesamaan dalam hal runtuhnya kekuasaan sebagai pemimpin tertinggi di republik ini.

Dua moment tersebut yakni, penurunan Presiden Sukarno dan mundurnya Presiden Suharto dari tampuk kekuasaan. Keduanya memunyai keterkaitan erat karena banyak pihak menduga, naiknya Suharto sebagai Presiden RI banyak diwarnai intrik-intrik tertentu. Namun, kedua presiden ini memunyai keberanian dalam bentuk beda. Sukarno berani mempertanggungjawabkan semua kebijakannya dalam wujud Pidato Nawaksara di depan MPRS. Sedangkan Suharto dalam wujud mengundurkan diri setelah 32 tahun membangun rezim fasis-militeristik.
baca selanjutnya…

 

Peringatan hari lahir Bung Karno ke-111 masih jauh dari harapan. Pemimpin negara ini masih takut untuk meluruskan sejarah tentang Sang Proklamator Kemerdekaan ini. Mereka masih terbius komunisto-phobi rezim Suharto sehingga mengabaikan status Presiden I RI. Bung Karno sampai detik ini masih berstatus tahanan politik dan upaya rehabilitasi terhadap hal ini masih jauh dari harapan. Beda dengan Corby yang dengan mudahnya mendapatkan grasi dari Presiden meski tak punya jasa apa pun bagi tanah air.

 

Melalui TAP MPRS No. XXXIII/MPRS/1967 tentang Pencabutan Kekuasaan Pemerintahan Negara dari Presiden Soekarno, Bung Karno disudutkan sedemikian rupa. Pada Pasal 3 TAP MPRS tersebut, secara tegas melarang Sukarno untuk melakukan aktivitas politik apa pun sampai dengan pelaksanaan Pemilu selanjutnya. Sukarno juga dituduh membuat kebijakan yang secara tidak langsung menguntungkan bagi G 30 S/PKI dan tokoh-tokohnya. Hal ini tertuang dalam bab pertimbangan TAP MPRS tersebut.
baca selengkapnya…