Cerita dari Kampus: Menjadi Legenda (4)

Posted: 15 September 2019 in Arbiter

Takut 66, Takut 98

Mahasiswa takut pada dosen
Dosen takut pada dekan
Dekan takut pada rektor
Rektor takut pada menteri
Menteri takut pada presiden
Presiden takut pada mahasiswa
1998

Karya: Taufiq Ismail

Gamang. Itulah potret mahasiswa zaman now. Mereka gamang karena bak disuguhi buah simalakama atau duri dalam daging. Bersetia dengan kata hati atau “mencari aman”.

Suasana seperti ini tentunya membingungkan sang dosen unyu-unyu ini. Sang dosen bukan lah Tuhan yang selalu benar. Si mahasiswa juga bukan lah robot yang mudah diatur. Sayangnya, nalar kritis ini “mati” ketika dihadapkan dengan rangkaian huruf A, B, C, D, dan E di evaluasi semester.

Apa yang terjadi saat ini pernah terbayangkan oleh dosen unyu-unyu ini. Kapitalisasi pendidikan sejatinya neo-NKK/BKK untuk membunuh nalar kritis mahasiswa. Biaya pendidikan yang tinggi akan mendorong mahasiswa untuk tetap di zona aman dan nyaman. Bentuk bhakti untuk kurangi beban orang tua. Ini semua bisa dimaklumi dan dipahami.

Titah dosen adalah segalanya. Kehendak dosen adalah kehendak Tuhan. Barangkali itu yang ada du pikiran seorang mahasiswa kekinian. Mereka berada di jalur yang sangat rumit dan penuh liku. Bagi dosen unyu-unyu ini, tindakan tersebut tak salah. Bisa dipahami dari angle mana pun.

Namun, kepatuhan seperti ini tentunya punya konsekuensi. Mahasiswa sebagai manusia bebas tak punya eksistensi atas dirinya sendiri. Kalau kata filsuf Perancis Jean Paul Sartre, eksistensi manusia adalah segalanya. “Aku tidak bebas untuk berhenti bebas. Kebebasanku adalah memilih diriku menjadi tuhan,” tegasnya.

Apa yang dikatakan Sartre bisa dikatakan sangat utopis sekali. Sartre, dalam hal inu, tak pernah menghitung relasi kuasa antara dosen dengan mahasiswa. Suka atau tidak, relasinya asimetris atau timpang. Satu pihak powerfull, lainnya powerless.

Jika terus membenarkan apologia tersebut, saya yakin, mustahil negeri ini melahirkan para petarung hebat. Tan Malaka, Sukarno, Hatta, dan lainnya mustahil muncul dan menggelorakan semangat kemerdekaan. Mereka semua dilahirkan dari semangat perlawanan terhadap beragam bentuk ketidakadilan.

Inilah hidup. Semua berhak memilih. Tak ada pilihan benar atau salah, baik atau buruk, serta logika biner lainnya. Namun, ada hal paling penting yang perlu diperhatikan. Wejangan Nyai Ontosoroh kepada Minke dalam “Bumi Manusia” karya Pramoedya Ananta Toer bisa jadi renungan.

“Kau terpelajar, cobalah bersetia dengan kata hati.”

—————————————

Note: Tulisan ini merupakan bagian dari usaha menceritakan kembali warna-warni kehidupan kampus. Bagian dari usaha untuk mencoba memahami dunia kampus kekinian agar di antara dosen-mahasiwa mempunyai relasi egaliter meskipun secara faktual tetap asimetris karena perbedaan kewenangan. Namun, tulisan ini hendak menunjukan, dunia mahasiswa juga penuh liku dan mereka butuh sedikit dipahami oleh para dosen. Tindakan abuse of power secara membabi-buta hanya akan menciptakan manusia-manusia kerdil yang tak punya kemerdekaan berpikir dan bertindak.

Tinggalkan komentar