Posts Tagged ‘kekuasaan’

”Tidak ada cara lain untuk menjaga diri bebas dari penjilatan ini daripada memberi tahu semua orang bahwa Anda tidak akan marah jika mereka mengatakan hal yang sebenarnya.”(Machiavelli)

Sengkuni atau Shakuni, siapa yang tak mengenalnya? Saya rasa, banyak yang tahu dengan salah satu toko sentral dalam Kitab Mahabharata. Tokoh antagonis yang digambarkan memunyai sifat licik, culas, dan penjilat. Tentu saja, hobinya mengadu domba keluarga Kurawa dan Pandawa supaya mereka terus bertempur. Dari pertempuran itulah dia berharap meraih keuntungan untuk memeroleh kesaktian.

Sengkuni merupakan tokoh yang terus-menerus menghasut Kurawa untuk memusuhi Pandawa. Sengkuni juga sosok penjilat agar tetap mendapat perhatian lebih dalam lingkaran Kurawa. Tanpa itu, pengaruh Sengkuni dalam Kurawa tak akan besar. Andai Sengkuni tak ada, barangkali, perang bharatayudha antara Kurawa dan Pandawa tak akan pernah terjadi. Namun, dia tetaplah Sengkuni, reinkarnasi dari Dwapara, dewa yang bertugas menciptakan kekacauan di bumi.
baca selengkapnya…

When I gave food to the poor, they called me a saint. When I asked why the poor were hungry, they called me a communist.” Dom Helder Camara

Merebaknya aksi terorisme dan penculikan atas dasar ideologi membangkitkan kembali semangat untuk ber-Pancasila. Semangat untuk menemukan jati diri sebagai suatu bangsa dengan acuan Pancasila yang menurut banyak pihak mulai ditinggalkan. Ber-Pancasila untuk menemukan kembali semangat ke-Indonesia-an yang utuh, berkarakter, dan berintegritas. Bukan sekedar doktrin membabi-buta dengan penafsiran tunggal seperti saat rezim Suharto berkuasa.

Fenomena Negara Islam Indonesia Komandemen Wilayah (NII KW) IX membuat negeri ini gelisah. Banyak anak muda kehilangan arah dan hilang akibat hasutan dari pelaku “teror” ideologi ini. mereka hilang, bukan hanya sekedar ideologi saja, dari peradapan, diculik atas nama ideologi. Begitu juga aksi terorisme, tindakan ini telah timbulkan kekacauan, bahkan jatuh korban jiwa. Dua contoh tersebut memunculkan konklusi: pendidikan Pancasila harus kembali digalakkan pada semua jenjang. Konklusi ini lahir karena porsi pendidikan Pancasila di semua jenjang pendidikan menurun.
baca selengkapnya…

Apa sih yang membuat mayoritas rakyat saat ini bahagia? Bisa membuat rakyat seolah-olah menjadi raja setelah sekian lama digencet dengan berbagai instrumen kekuasaan. Hanya menjadi obyek kekuasaan dengan dipaksa untuk menerima apa pun dari atas. Tanpa ada pilihan meski seolah-olah mereka dibuatkan alternatif atau opsi atas isu tertentu. Dalam bahasa marxis, hal ini disebut sebagai quasi-alternatif.

Rakyat merasa sangat bahagia bila Pemilihan Kepala Daerah (pilkada) sedang berlangsung. Kaos, goody bag, spanduk, serta logistik dalam berbagai bentuk melimpah ruah. Tak seperti biasanya, beberapa orang yang menjadi calon kepala daerah begitu antusias untuk ”menyumbangkan” sebagian kekayaannya dengan Cuma-Cuma. Sungguh dramatis dan sangat mengharukan.
baca selengkapnya…

Secara mendasar, tulisan ini merupakan kritik terhadap pendefinisian komunikasi secara umum. Komunikasi sering didefinisikan tanpa melihat kondisi asymmetrical communications yang secara riil terjadi. Komunikasi yang hanya didefinisikan dalam artian simetris, dalam pandangan saya, kurang mencakup arena propaganda dan agitasi. Keduanya merupakan bentuk dari komunikasi yang tidak hanya sekedar menginginkan tersampainya pesan, tetapi terdapat unsur-unsur untuk menguasai (mempengaruhi) lainnya dengan menggunakan kekuatan bahasa. Apakah bahasa hanya sekedar alat Bantu untuk berkomunikasi?

Penelusuran lebih lanjut dapat dijadikan referensi mengenai komunikasi. Bahasa merupakan alat utama dalam komunikasi, apakah hanya sekedar itu? Bahasa dapat didefinisikan sebagai permainan tanda, makna, simbol, dan kode untuk tujuan dan kepentingan tertentu. Definisi ini didasari atas argumen, kekuasaan itu dapat diketahui wujudnya apabila diinteraksikan kepada pihak lain dengan bahasa sebagai alatnya. Artinya, melalui bahasa sebagai alat komunikasi, kekuasaan itu dapat diketahui dan diwujudkan. Oleh karena itu, bahasa yang merupakan piranti utama komunikasi tidak tidak dapat dilepaskan dari proses komunikasi itu sendiri. Hal ini terjadi karena komunikasi menggunakan bahasa sebagai sarana untuk menyampaikan kehendak kepada lainnya.
baca selengkapnya…

Imam Al-Ghazali lebih dikenal sebagai ulama tasawuf dan akidah. Oleh sebab itu sumbangannya terhadap bidang filsafat dan ilmu pengetahuan lain tidak boleh dinafikan begitu saja dalam lembar sejarah pemikiran politik Islam. Al-Ghazali merupakan seorang ahli sufi yang bergelar “hujjatul Islam” karena intelektualitas yang dia miliki dan sumbangsihnya terhadap kemajuan ilmu pengetahuan di dunia Islam saat itu.

Abu Hamid Ibnu Muhammad al-Tusi al-Ghazali adalah tokoh yang dilahirkan di Tusi, Parsi pada tahun 450 Hijrah. Sejak kecil, dia telah menunjukkan kemampuan luar biasa dengan menguasai berbagai cabang ilmu pengetahuan. Imam Al – Ghazali bukan saja produktif dari segi menghasilkan buku dan karya tetapi merupakan seorang ahli fikir Islam yang terbaik dengan karya-karya monumentalnya. Kecintaannya terhadap ilmu pengetahuan begitu mendalam sehingga mendorongnya mengembara dan merantau dari satu tempat ke tempat yang lain untuk berguru dengan ulama-ulama yang hidup pada zamannya. Hasil kerja kerasnya dapat dinikmatinya sewaktu berada di Baghdad, Al-Ghazali dilantik sebagai Mahaguru Universitas Baghdad.
baca selengkapnya…

“Jawanisme adalah taat dan setia membabi buta pada atasan, yang pada akhirnya menjurus kepada fasisme.” Pramoedya Ananta Toer [1]

Kutipan di atas mengingatkan pada sebuah roman berjudul Gadis Pantai karya pengucap kalimat tersebut. Karya yang langsung menusuk ulu hati bagi penganut budaya Jawa (tak terkait etnis) yang terrkenal dengan feodalisme-nya. Budaya yang senantiasa mengagungkan penguasa di atas segalanya hingga nurani pun harus tunduk pula demi sebuah pujian manis penuh kehampaan.

Tak bisa dipungkiri, feodalisme ala Jawa merupakan salah satu penyumbang terbesar bercokolnya kolonialisme dan imperialisme selama berabad-abad itu. Melanggengkan struktur kekuasaan yang timpang karena keuntungan besar dapat diperoleh dengan menjadi “penjilat”. Tanpa mengetahui dan mencoba memahami apakah itu harus ditaati atau ditolak.
baca selengkapnya…