Posts Tagged ‘Negara’

Revisi Setengah Hati

Posted: 22 Desember 2013 in Hukum
Tag:, , ,

Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) akhirnya mengesahkan Undang-Undang Perubahan atas UU No. 23/2006 tentang Administrasi Kependudukan. Hal penting dalam revisi tersebut tentang poin adanya ketidakwajiban untuk mengisi kolom agama di Kartu Tanda Penduduk (KTP). Hal ini merupakan salah satu kemajuan yang perlu dicatat meski setengah hati.

Tak hanya dalam KTP saja. Dalam keseharian, kita sering dihadapkan pada pertanyaan agama di formulir yang harus diisi. Padahal, formulir tersebut tak ada hubungannya sama sekali dengan agama yang kita anut. Kondisi demikian sudah jamak terjadi dan seolah-olah sudah menjadi hal yang biasa meski agama merupakan urusan privat. Apa urgensi adanya pertanyaan agama dalam hal ini?
baca selengkapnya…

Kesadaran bertanah dan mempertahankan tanahnya, dalam perspektif nasionalisme menjadi kesadaran bertanah air. Tanah air yang sunggguh-sungguh milik kami dan harus kami pertahankan. Bangsa tanpa tanah air seperti pohon tanpa akar, tanpa pijakan (1)

Bung Karno pernah berkata, perjuangan melawan penjajah Belanda lebih ringan daripada perlawanan yang harus dihadapi oleh generasi setelah kemerdekaan karena harus berhadapan dengan bangsanya sendiri. Apa yang dikatakan Bung Karno tersebut cukup tepat untuk menggambarkan keadaan di Kepulauan Aru saat ini. Masyarakat Kepulauan Aru harus berjuang melawan bangsanya sendiri untuk menegakkan hak atas tanah adat dan hutan mereka. Paradoks di era kemerdekaan dengan kedaulatan rakyat sebagai kekuasaan tertinggi melawan kekuatan kapital.
baca selengkapnya…

Sumber: jakaawaludin.blogspot.com

KOMPAS.com — Tahukah Anda bahwa di Islandia, kelab malam yang menampilkan penari perempuan tanpa busana dilarang beroperasi? Di Swedia, ada aturan perundangan yang mengatur perlindungan terhadap perawatan anak. Bandingkan dengan 297 juta perempuan dewasa dan anak-anak perempuan Afrika yang kekurangan akses sanitasi sehingga 107 juta di antara mereka bahkan tidak mampu ke toilet sama sekali (hasil survei WaterAid untuk memperingati World Toilet Day pada 19 November 2012).

Di beberapa negara, perempuan mungkin masih berusaha keras untuk memperjuangkan haknya. Namun, 10 negara di bawah ini memperlakukan perempuan dengan istimewa sehingga perempuan mendapatkan banyak keuntungan.
baca selengkapnya…

Kalau kita menonton film Hotel Rwanda atau Sometimes in April, pikiran kita bakal dibawa lari pada peristiwa sangat menyedihkan di Rwanda. Genosida pada paruh 1990-an yang terjadi di negara tersebut telah meluluhlantakkan sendi-sendi kehidupan masyrakatnya. Sangat mengerikan dan di luar batas nalar manusia. Di luar persoalan genosida tersebut, Rwanda ternyata telah melesat, berlari menyalip kita yang terlena dan hanya jalan di tempat.

Mungkin, banyak alibi untuk menutupi ketertinggalan kita dari negara yang baru saja lepas dari dari konflik kemanusiaan tersebut. Reformasi yang gagal, masih dalam fase transisi demokrasi, ata apa pun bisa jadi alasan untuk mengelak fakta ketertinggalan Indonesia dengan Rwanda. Tertinggal dalam upaya perang melawan korupsi yang ternyata di Rwanda jauh lebih baik. Kita layak iri dengan negara yang baru membangun pada akhir era 1990-an selepas konflik ini.
baca selengkapnya…

Tulisan ini merupakan tanggapan terhadap opini Saudara Ali Mustofa yang berjudul John Key Dan Pandemi Premanisme di Indonesia (www.detik.com, 27/2/2012). Dalam hal ini saya tidak sepakat dengan formulasi solusi yang ditawarkan oleh penulis artikel tersebut yang menyatakan, sistem khilafah sebagai solusi untuk memerangi premanisme. Di samping itu, hubungan antara negara dengan agama cukup jauh terkait hubungan antara premanisme dan sistem dalam relasi tersebut.

Jika persoalan premanisme ditarik dalam tataran sistemik (fungsi negara), fenomena tersebut mayoritas disebabkan oleh adanya kesenjangan sosial yang cukup tinggi. Negara dalam hal ini bisa dicap gagal dalam mewujudkan keadilan dan kesejahteraan sosial. Premanisme muncul sebagai dampak dari desakan ekonomi, plus ditunjang faktor lemahnya penegakkan hukum dan latar belakang individu pelakunya.
baca selengkapnya…

When I gave food to the poor, they called me a saint. When I asked why the poor were hungry, they called me a communist.” Dom Helder Camara

Merebaknya aksi terorisme dan penculikan atas dasar ideologi membangkitkan kembali semangat untuk ber-Pancasila. Semangat untuk menemukan jati diri sebagai suatu bangsa dengan acuan Pancasila yang menurut banyak pihak mulai ditinggalkan. Ber-Pancasila untuk menemukan kembali semangat ke-Indonesia-an yang utuh, berkarakter, dan berintegritas. Bukan sekedar doktrin membabi-buta dengan penafsiran tunggal seperti saat rezim Suharto berkuasa.

Fenomena Negara Islam Indonesia Komandemen Wilayah (NII KW) IX membuat negeri ini gelisah. Banyak anak muda kehilangan arah dan hilang akibat hasutan dari pelaku “teror” ideologi ini. mereka hilang, bukan hanya sekedar ideologi saja, dari peradapan, diculik atas nama ideologi. Begitu juga aksi terorisme, tindakan ini telah timbulkan kekacauan, bahkan jatuh korban jiwa. Dua contoh tersebut memunculkan konklusi: pendidikan Pancasila harus kembali digalakkan pada semua jenjang. Konklusi ini lahir karena porsi pendidikan Pancasila di semua jenjang pendidikan menurun.
baca selengkapnya…

Tindakan kekerasan nan bengis dilakukan sekelompok massa di Desa Cikeusik, Pandeglang, Banten.

Pembantaian penganut ajaran Ahmadiyah itu menunjukkan rendahnya toleransi antarkelompok sosial yang berbeda keyakinan dan makin hilangnya rasa perikemanusiaan sebagian bangsa kita. Yang menonjol, ego kepercayaan berbasis tafsir subyektif atas teks atau ajaran agama (Islam) tanpa memberi ruang pada kelompok lain menafsirkan kebenarannya sendiri. Fenomena itu secara sosiologis menunjukkan ada kehendak menyeragamkan kebenaran yang diyakini.

Barang siapa menjalankan aktivitas dengan kepercayaan dari tafsir berbeda, akan disingkirkan. Sebagian masyarakat kita masih menggunakan hukum rimba, hidup tanpa aturan dan keteraturan. Bahkan, pada tingkat tertentu, sangat terkesan sebagian warga dan komunitas bangsa ini berada dalam ruang tanpa negara. Pihak yang menghendaki penyeragaman keyakinan bebas melakukan kekerasan fisik terhadap yang dianggap harus ”seiman” dengan mereka. Kalaupun pemerintah atau yang berwenang hadir di tengah komunitas yang tengah berkonflik, perannya sungguh tidak terasa.
baca selengkapnya…