Posts Tagged ‘sosialisme’

Sebuah konstitusi negara lazimnya disusun dengan cermat dan memuat aturan pokok bernegara. Konstitusi tersebut disusun berdasarkan latar belakang dan ciota-cita pendirian negara. Namun, rumus tersebut tidak berlaku di Libya selama Khadafi berkuasa sejak September 1969. Konstitusi adalah dirinya dengan beragam argumen yang menyesatkan. Seperti adagium sistem kerajaan tradisional, the king can do no wrong.

Dua Kitab Hijau (Kitab Akhdar) dan buku The Third International Theory jadi dasar Khadafi dalam menjalankan roda pemerintahan Libya. Ketiga terbitan tersebut secara sepihak diresmikan sebagai konstitusi Libya. Tentunya, hal ini sangatlah bertolak belakang dengan logika umum tentang konstitusi suatu negara.
baca selengkapnya…

Bung Karno Sumber: http://fan2be.blogspot.com

Dalam artikelnya yang masyhur “Nasionalisme, Islamisme dan Marxisme” sejatinya Sukarno melakukan pembelahan bukan persatuan.

Sejak saya mulai belajar sejarah Indonesia di University of Sydney tahun 1969, saya selalu diajari oleh para dosen bahwa Sukarno seorang permersatu. Bahkan mereka, baik dosen Australia, Indonesia atau Belanda, cukup banyak yang menyebut Sukarno – dengan nada minor – gandrung persatuan. Dalam bulan Juni 2011 ini – dengan banyak spanduk yang menyatakan ini bulan Sukarno – masalah persatuan, apalagi dalam menghadapi “asing”, suka disebut-sebut lagi.

Baik sebagai seorang akademisi yang “Indonesianis” maupun sebagai warga dunia yang berkewajiban berideologi, saya menyatakan sebelumnya bahwa saya termasuk seorang yang sangat menghargai kepemimpinan Sukarno serta pikirannya, meskipun saya juga berpendapat dia bukan manusia sempurna: pernah juga melakukan kekeliruan dan kadang-kadang analisa yang salah. Sebagai seorang yang menilai peranan Sukarno secara umum sangat positif, saya mau menekankan bahwa gambaran atau stereotipe Sukarno sebagai seorang pemersatu adalah keliru total. Sukarno bukan pemersatu bangsa, dia adalah seorang yang membelah bangsa dan negeri Indonesia.

Apakah ini celaan atau sebuah kritikan? Tidak, ini sebuah pujian. Izinkan saya jelaskan pendapat saya itu.

Kalau kita buka buku Di Bawah Bendera Revolusi jilid I artikel pertama, kita akan temukan artikel “Nasionalisme, Islamisme dan Marxisme”. Artikel itu dimuat di Suluh Indonesia Muda pada tahun 1926. Artikel terkenal itu mengambil sebuah peranan awal dalam kampanye propaganda Sukarno yang kemudian sering dianggap sebagai artikel yang mengusung gagasan persatuan. Tetapi pandangan seperti itu adalah pandangan yang dangkal kalau tak boleh disebut sebagai pandangan yang sangat menyesatkan. Tulisan “Nasionalisme, Islamisme dan Marxisme” sejatinya adalah tulisan pembelahan, bukan penyatuan.
baca selengkapnya…

Pola dan proses pembangunan ekonomi di suatu negara ditentukan oleh dua macam faktor, yakni internal dan eksternal. Untuk faktor-faktor internal terdiri dari: kondisi fisik, lokasi geografi, kuantitas dan kualitas sumber daya alam dan sumber daya manusia, kondisi awal ekonomi, social dan budaya, system politik, dan peranan pemerintah dalam ekonomi. Sedangkan factor eksternal terdiri dari : perkembangan teknologi, kondisi perekonomian dan politik dunia, dan keamanan global.

Pada negara-negara yang baru merdeka pasca Perang Dunia II, tahun-tahun pertama merupakan periode yang sangat kritis. Indonesia pun sempat mengalami keadaan seperti itu. Selain kondisi politik di dalam negeri yang tidak mendukung; keterbatasan akan factor produksi mulai dari kualitas SDM, modal, teknologi, hingga kemampuan pemerintah dalam menyususn rencana dan strategi pembangunan yang baik juga masih menjadi kendala untuk perekonomian Indonesia. Kecenderungan pemerintahan Sukarno yang dianggap berhaluan Komunis membuat Indonesia sulit untuk mendapatkan dana dari negara-negara Barat baik dalam bentuk pinjaman maupun penanaman modal asing. Padahal pada saat itu Indonesia benar-benar membutuhkan dana yang sangat besar dalam upayanya merekonstruksi ekonomi negaranya. Sebenarnya haluan politik yang agak berhaluan komunis (sejatinya adalah refleksi dari nasionalisme Indonesia) itu hanyalah meruapakan suatu refleksi dari perasaan antikolonialisasi, anti imperialisasi, dan antikapitalis. Ketidakstabilan politik terus berlangsung hingga masa orde ini selesai ketika kudeta dari PKI berhasil digagalkan dan kemudian system ekonomi Indonesia menjadi berubah haluan dari pemikiran (cenderung) sosialis ke kapitalis.
baca selengkapnya…