(Tak Lagi) Berharap Sapi Ompong

Posted: 20 Juli 2013 in Hukum, Sosial-Budaya
Tag:, , , , , , , , , ,

Sumber: Seruu.com

Ada yang berbeda ketika baru membaca media sosial saat itu, “ada perlawanan dari warga terhadap preman berjubah.” Begitulah kira-kira informasi yang diberikan seorang kawan dan saya pun langsung berpikir, pasti Front Pembela Islam (FPI) yang dimaksud. Ternyata, setelah beberapa menit, peristiwa tersebut muncul di media massa. Dugaanku benar, siapa preman berjubah yang sedang dilawan oleh masyarakat di Kendal tersebut.

Perlawanan masyarakat terhadap aksi preman berjubah ini memang punya latar belakang panjang. Khusus apa yang terjadi di Sukorejo, Kendal, peristiwa sehari sebelumnya (Rabu, 17/07) menjadi latarnya. Perlawanan masyarakat terhadap aksi FPI di lokalisasi Alaska menyebabkan organisasi ini menurunkan pasukan lebih banyak keesokan harinya. Namun, menurut jubir FPI Jawa Tengah, massa FPI tersebut pada dasarnya hendak lakukan buka bersama meski ditemukan ada yang bawa senjata tajam di antara mereka. Buat apa bawa senjata tajam ketika buka bersama?

FPI punya dalih atas tindakan yang mereka lakukan. Mulai dari untuk menghormati bulan suci Ramadhan atau melaksanakan nahi mungkar versi mereka sendiri sehingga aksi bersih-bersih pun dilakukan. Padahal, sebelum Ramadhan tiba, petinggi Polri nyatakan bahwa aksi sweeping swasta adalah tindakan pelanggaran hukum. Artinya, bila dilakukan bisa dijerat dengan pasal pidana. Faktanya benarkah demikian? Boro-boro dicegah, malah dapat pengawalan saat konvoi unjuk kekuatan sebagai yang Maha Benar.

Dari berbagai macam pemberitaan, kemarahan warga Sukorejo, Kendal, terhadap massa FPI ini lebih banyak disebabkan karena penabrakan warga setempat. Ibu Tri Munarti meninggal setelah sepeda motor yang ia tunggangi tertabrak/ditabrak salah satu mobil iring-iringan rombongan FPI. Akibatnya, warga yang awalnya sedikit, bak bola salju, akhirnya membesar. Mereka “menuntut balas” atas meninggalnya Ibu Tri Munarti. Akhirnya, peristiwa “penyanderaan” terhadap sekitar 20-an anggota FPI di dalam masjid di Sukorejo pun terjadi. Sayang sekali para anggota FPI tetap sembunyi meski pun jalan menuju surga yang mereka idam-idamkan sejak lama sudah di depan mata.

Sapi Ompong dan Auto-Pilot

Beragam pendapat pun muncul menanggapi peristiwa di kendal ini. Para politisi pun bersuara dengan beragam argumen. Ada yang sangat marah dengan tindakan FPI, tapi ada pula yang memaklumi aksi FPI di Kendal tersebut (sweeping). Perbedaan pendapat bukan soal prinsip dalam melihat fenomena sosial-politik seperti ini. Prinsip utama, bagaimana aparat keamanan benar-benar menjalankan fungsinya dengan baik. Siapa yang melanggar berarti harus ditindak, bukan dibiarkan bebas merajalela. Di sisi lain, aparat keamanan malah memberi “fasilitas” pengawalan ketika massa FPI melakukan konvoi sweeping. Ini sudah hal jamak, terjadi di banyak tempat.

Banyak analisis yang nyatakan, FPI merupakan binaan aparat negara. Bisa dikatakan sebagai “attack dog” guna membenturkan masyarakat. Fenomena ini marak terjadi ketika demonstrasi mahasiswa 1998 meluas. Penguasa pun kelimpungan akibat sorotan internasional atas pelanggaran HAM yang dilakukan aparat. Alhasil, mereka gunakan “aparat swasta” guna menghalau demonstrasi mahasiswa. Konsep rakyat terlatih gagal dan diputar dengan membangun kelompok massa atas dasar keagamaan guna memukul gerakan mahasiswa. Kekuasaan aman dan tak ada pelanggaran HAM meskipun terjadi kekerasan karena yang “bertarung” bukan aparat negara.

Sudah menjadi rahasia umum jika organisasi yang mengatasnamakan agama ini sangat sering melakukan aksi kekerasan terhadap mereka yang tak sepaham dengan mereka. Kejadian berulang-ulang kali tersebut tak jua membuat aparat keamanan bergerak spartan, malah seolah-olah menutup mata terhadap aksi premanisme yang sering dilakukan FPI. Apa daya, fakta demikian semakin menguatkan asumsi jika keberadaan FPI ini didukung oleh kekuasaan. Bahkan, pernyataan Presiden SBY tentang ormas anarkhis hanya jadi angin lalu saja.

Apa yang terjadi di Kendal beberapa hari lalu bisa menjadi refleksi kemarahan rakyat atas perselingkuhan negara dengan organisasi massa. Tindakan yang diambil oleh masyarakat Sukorejo tersebut, dalam perspektif Arendt, bisa dikatakan sebagai “cadangan revolusi”. Inilah satu-satunya cadangan kekuatan ketika kekuasaan yang tersedia tidak bisa menjamin rasa aman masyarakat (d’Entevez, 2003). Dalam hal ini, aparat keamanan lah yang paling harus bertanggungjawab. Andai saja aparat keamanan langsung membubarkan aksi FPI seperti yang dijanjikan sebelum Ramadhan, mereka tak akan berani macam-macam. Pembiaran terhadap aksi FPI merupakan biang keladi dalam permasalahan ini. Logika aparat keamanan lamban dalam “menjaga” keheningan Ramadhan bisa juga diterima akal, tapi itu hanya sampingan saja jika tak ada alasan lain yang dirasa tepat.

Perlawanan masyarakat Sukorejo pastinya akan membawa inspirasi warga di tempat lain untuk melakukan tindakan serupa jika mengalami hal sama. Kejadian serupa bakal menjadi hal yang sangat mungkin terjadi jika aparat keamanan masih berpikir sangat panjang untuk menindak ormas yang melakukan aksi kekerasan. Bom waktu ini bakal meledak jika negara hukum hanya jadi retorika, bukan implementasi.

Referensi:

http://www.suaramerdeka.com/v1/index.php/read/cetak/2013/07/19/231472/Warga-FPI-Bentrok-Tiga-Kali
http://www.koran-sindo.com/node/317464
http://news.detik.com/read/2013/06/29/122318/2287877/10/mabes-polri-sebut-ormas-tak-ada-wewenang-lakukan-sweeping-jelang-ramadan
http://ramadan.okezone.com/read/2013/07/03/335/831291/polri-siap-tindak-tegas-ormas-yang-melakukan-sweeping-liar
http://regional.kompas.com/read/2013/07/19/0022293/Ini.Kronologi.Bentrok.Warga.dengan.FPI.di.Kendal
http://nasional.kompas.com/read/2013/07/19/1202234/PPP.Bela.FPI.soal.Bentrokan.di.Sukorejo.
http://us.fokus.news.viva.co.id/news/read/430493-ketika-razia-fpi-dilawan-warga

Inflasi Iman

Tinggalkan komentar