Ketika masih menjadi mahasiswa unyu-unyu, saya diajari bahwa negara merupakan pemilik kedaulatan tertinggi. Tak ada kedaulatan di atas negara dalam bentuk organisasi supranasional. Selama rezim westphalia masih eksis, kedaulatan akan tetap menjadi hal utama. Selama rezim westphalia masih eksis, kedaulatan alan tetap menjadi hal utama. Pengetahuan ini pun saya tularkan ke mahasiswa dalam beragam forum.
Namun, pengetahuan tadi harus goncang ketika membaca RUU Cipta Kerja yang sudah disahkan oleh DPR pekan lalu dalam bentuk versi 812 halaman (asli atau bukan, urusan lain. Anggap saja semua versi itu asli). Pasal 32 RUU Cipta Kerja menghapus beberapa pasal dan/atau ayat dalam UU No. 19/2013 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Petani. Dalam hal ini, aturan di atas mencabut hal penting yang menjadi tameng untuk melindungi petani ketika musim panen tiba.
Pasal 15 UU No. 19/2013 mengatur tentang impor produk pertanian. Dalam hal ini, UU tereebut memerintahkan agar impor produk pertanian memperhatikan ketika musim panen tiba. Namun, dalam RUU Cipta Kerja, aturan tersebut dicabut. Tak ada lagi perlindungan terhadap petani ketika panen raya datang.
Lahirnya ketentuan baru tersebut bukan lah datang dengan sendirinya. Tak turun begitu saja dari langit. Setelah mencoba melakukan riset mini, pasal tersebut hadir sebagai respon Indonesia atas putusan Dispute Settlement Body (DSB) World Trade Organization (WTO) dalam sengketa produk pertanian dan holtikultura yang digugat Pemerintah Amerika Serikat. Putusan DSB WTO menyatakan Indonesia bersalah dan harus mengubah semua peraturan perundang-undangan yang dinilai menghambat perdagangan bebas atau membayar retaliasi. Dalam kasus ini, Indonesia memilih opsi pertama. Mengubah peraturan perundang-undangan.
Fenomena ini membuat saya berpikir, “apakah pengetahuan yang saya dapat dan berikan ke mahasiswa itu salah?” Hal ini membuat saya harus memeriksa beberapa literatur tentang “Ilmu Negara”. Saya lega, ternyata pengetahuan yang saya dapat dan berikan tersebut tak salah. Semua menyatakan, negara merupakan pemilik kedaulatan tertinggi.
Tak berhenti di situ saja. Beberapa karya Sukarno pun turut saya buka untuk memastikannya kembali. Jawabannya masih sama, negara merupakan pemilik kedaulatan tertinggi sebagaimana termaktub dalam Traktat Westphalia 1648.
Membaca kembali berbagai karya Sukarno otomatis memaksa untuk kembali menengok tulisan lainnya. Tentu saja, tulisan tentang kisah epic pertemuan Bung Karno dengan Pak Marhaen. Petani yang harus hidup dalam kemiskinan akibat struktur dan sistem yang timpang. Juga mengingat kembali tentang sosio-demokrasi yang menjadi elemen penting dari Marhaenisme. “Semuanya hanya jadi dokumen di atas kertas saja,” gumam ku.
“Revisi” atas semua pengetahuan tersebut harus dilakukan karena Omnibus Law Cipta Kerja. Negara bukan lagi pemilik kedaulatan tertinggi. Supranasionalitas nyata adanya…