ini-cara-pencoblosan-yang-dianggap-sah-pada-pemilu-9-april-2014

Sejak akhir tahun lalu, beberapa teman mahasiswa bertanya kepada saya tentang siapa pasangan calon presiden (capres) dan wakil presiden (cawapres) ideal untuk 2019-2024. Pertanyaan yang gampang-gampang susah. Mengapa? Sebagai pendidik, tentunya harus berhati-hati ketika menjawab pertanyaan seperti ini. Saya tak mau jawaban tersebut menjadi preferensi bagi mahasiswa ketika tentukan pilihan karena bukan juru kampanye salah satu pasangan calon.

Jawaban mengambang selalu saya berikan ketika ada teman mahasiswa bertanya tentang siapa yang terbaik memimpin negeri ini untuk lima tahun ke depan. Tentunya, ini bukanberarti saya tak punya sikap politik. Lebih jauh dari itu, saya berharap jawaban tersebut menjadi bagian dari pendidikan politik untuk teman-teman tersebut. “Pertanyaan yang sangat sulit untuk dijawab karena saya tak bisa serta-merta menyatakannya,” gumamku dalam hati.

Seiring perjalanan waktu, teman-teman mahasiswa semakin banyak yang bertanya hal sama. Sama seperti sebelumnya, jawaban mengambang selalu saya berikan untuk mengobati dahaga tersebut. Mereka pun hanya bisa manggut-manggut saja. Entah apa artinya. Intinya, saya hanya mengajak mereka berpikir lebih jernih lagi tentang pilihan yang akan dibuatnya kelak. Semoga pilihan yang mereka buat menjadikan Indonesia semakin berjaya. Sich!

Jawaban mengambang yang selalu saya lontarkan ternyata tak membuat teman-teman mahasiswa terobati rasa penasarannya. Seringkali, ketika bertemu, mereka menanyakan hal yang sama. Bahkan ketika berada di “forum” santai sembari nyeruput kopi sachet-an di sudut kampus. Akhirnya, sikap ketika Pilpres 2014 berlangsung saya utarakan lagi. Sikap yang tak orisinil karena saya memang memplagiat pernyataan salah satu tokoh pergerakan nasional, dr. Tjipto Mangunkusumo.
“Perjuangan di Eropa sekarang itu ialah perjuangan antara demokrasi dengan totalitarianisme. Dalam perjuangan semacam itu tidak salah kita memilih, di manakah akan diletakkan perasaan simpati kita. Sudah tentu di pihak demokrasi.” Dia pun menganjurkan, “sekarang kita lebih baik tolong lawan kita itu, Holland…”.

Apa yang dikemukakan oleh dr. Tjipto di atas tentunya menimbulkan pro dan kontra. Jawaban tersebut, saya yakin, penuh resiko. Bukan sekedar mengambil sisi ekletik di antara dua pilihan sulit. Dus, dr. Tjipto merupakan salah satu tokoh pergerakan nasional yang mengambil jalan non-kooperatif sejak awal abad XX. Bahkan, penghargaan dari Ratu Belanda atas jasa-jasanya membasmi penyakit pes tidak ditaruh di tempat semestinya. Banyak dari kaum pergerakan saat itu (awal pendudukan Jepang) yang menyebut beliau sebagai “orang tua yang pikun”.

Pada pilpres lima tahun lalu, apologia mengimitasi sikap dr. Tjipto ini menjadi jawaban atas kegundahan hati kala harus memutuskan antara memilih atau tidak. Jika memang gunakan hak politik, siapa yang akan menjadi pilihan. Ternyata, dasar jawaban saya kepada para teman mahasiswa sedikit mengobati rasa penasaran mereka. Setidaknya, meskipun belum tegas memilih siapa, jawaban tersebut menjadi petunjuk kegalauan yang sedang melanda. “Sikap saya sama dengan dr. Tjipto Mangunkusumo,” jawabku.

Semoga tak ada lagi yang bertanya sikap politik saya lagi di kemudian hari…. 

Tinggalkan komentar