Syech Puji, Mbah Surip, dan “Pernikahan Dini”

Posted: 22 Januari 2011 in Sosial-Budaya
Tag:, , , , , , ,

Kabar tentang pernikahan Syech Puji dengan seorang gadis berumur 12 tahun di Semarang sempat menggemparkan tanah air. Beragam pendapat muncul terkait kejaadian itu, terutama oleh para pemerhati anak. Mereka menilai pernikahan tersebut “tak layak” dilakukan karena dapat berdampak negatif pada si gadis. Mempelai perempuan tersebut harusnya masih menikmati pendidikan selayaknya anak-anaak seusianya. Selain itu, dari sisi medis hal tersebut dinilai dapat menimbulkan dampak buruk bagi kesehatan sang gadis. Protes keras pun bermunculan atas peristiwa ini, berikut juga dukungan turut meramaikan perdebatan.

Penikahan “nekad” ini pun nerujung ke proses hukum. Syech Puji harus berurusan dengan polisi akibat tindakan yang ia ambil, menikahi seorang gadis di bawah umur. Memang, secara aturan hukum positif yang berlaku, pernikahan tersebut memang tak layak untuk dilakukan. Dalam UU Perkawinan, pihak perempuan minimal harus berumur 16 tahun untuk dapat menikah secara sah dan dilindungi UU. Tentu saja, dengan usia masih 12 tahun dan menikah dengan pria yang layak menjadi kakeknya tersebut, sangat jelas bila hal itu dilarang. Dalam hal ini, masa depan sang gadis tersebut jadi taruhannya karena pernikahannya bisa menimbulkan hal buruk bagi kesehatan, juga dari sisi perkembangan mental.

Dari perspektif lain, dengan usia masih 12 tahun, sang gadis tersebut masih masuk dalam kategori anak-anak. Dalam UU tentang Perlindungan Anak maupun Konvensi Internasional tentang Hak Anak, seseorang dianggap anak-anak bila belum mencapai usia 18 tahun. Tentu saja, perlakuan terhadap mereka harus dibedakan dengan mereka yang dewasa. Dalam bahasa jawa mungkin bisa dikatakan “pikirane during jangkep” (cara berpikir belum lengkap). Masih berpikir bagaimana bermain dan bermain, belum waktunya memeras otak selayaknya orang dewasa. Harus dilindungi dengan semestinya, bukan dipenjara seperti halnya sepuluh anakk yang harus dimejahijaukan di Banten karena permainan “berbahaya” mereka.

Fenomena Syech Puji ini memunyai korelasi erat dengan Mbaah Surip yang baru kemarin harus berpulang ke hadirat-Nya. Korelasi diantara mereka terletak pada pandangan tentang kedewasaan dalam hubungan pernikahan. Syech Puji di satu sisi menikahi gadis ingusan, Mbah Surip melalui lagunya menentang hal tersebut dengan ciri khasnya. Menentang bentuk pernikahan itu bukan karena alasan yuridis formal, tapi secara sosial, belum dewasa. Menjadi pertanyaan tersendiri bila dibandingkan dengan fenomena Syech Puji yang notabene juga mengerti tentang situasi sosial.

Bentuk resistensi Mbaah Surip tergambar jelas dalaam lirik lagu gubahannya yang berjudul “Dikejar-Kejar”. Dalam nyanyian itu, Mbah Surip menceritaakan tentang kisah cintanya, jadi rebutan cewek-cewek (mang agak narsis:D). Bagaimana Mbah Surip dengan lugas menolak cinta Erni, dan Maya karena mereka belum dewasa meskipun dipaksa untuk menikahi mereka sampai dikejar-kejar segala. Iming-iming harta tak membuat Mbah Surip silau karena keduanya sebenarnya kaya raya (Erni punya kebun kopi tujuh hektar, dan Maya punya rumah real estate banyak). Karena itu, Mbah Surip pun harus sembunyi karena sikapnya yang tak mau menikahi kedua gadis itu. Sembunyi di dalam kantong plastik.:)

Alasan penolakan Mbah Surip meski dipaksa untuk menikah dengan dua gadis sangat cantik itulah yang jadi sesuatu hal menarik. Belum dewasa, cukup itu saja. Alasan yang cenderung melihat dari sisi plural, bukan dari aspek yuridis formal an sich. Kearifan seperti ini layak mendapat apresiasi tersendiri karena melakukan tindakan bukan karena dilarang secara hukum, tapi hati jadi pijakannya. Ya, belum dewasa, itulah alasan mengapa Mbah Surip menolak dinikahkan dengan dua orang gadis cantik dalam lagunya “Dikejar-Kejar”. Sampai-sampai, rasa malu harus ditanggung Mbah Surip bila pernikahan tersebut terjadi. Malu kepada diri sendiri karena menikahi gadis belum dewasa.

Lelah. Begitulah gambaran dari lagu Mbah Surip tersebut. Lelah karena harus bersembunyi dan dikejar-kejar untuk mau menikahi kedua gadis tersebut. Alasan penolakan pernikahan tersebut yang membuat Mbah Surip berbeda dengan Syech Puji. Syech Puji “tega” menikahi seorang gadis belia, sedangkan Mbah Surip menolaknya karena si Erni dan Maya masih belum dewasa. Disamping itu, Mbah Surip juga harus menanggung malu bila pernikahan tersebut harus dilakukan, bukan bangga. Karena itu, pandangan kontras kedua “Il Fenomenal” ini dapat menjadi suatu pelajaraan tersendiri, tentang hasrat.

Dikejar-kejar

Dikejar-kejar, dikejar-kejar
Aku dikejar-kejar
Dikejar-kejar, dikejar-kejar
Aku dikejar-kejar

Aku berlari sembunyi di dalam
Kantong plastik
Aku dipaksa ngawini
Gadis yang paling cantik
Aku ga mau

Dikejar-kejar, dikejar-kejar
Aku dikejar-kejar
Ampun ya ampun

Kalau saja aku mau sama si Erni
Punya kebun kopi tujuh hektar
Kalau saja aku mau sama si Mayaa
Punya rumah rreal estate banyak
Aku ga mau….
Belum dewasa….hahaha

Malu aku, kasihan loe….

Tulisan lama, beberapa hari pasca meninggalnya Mbah Surip

Tinggalkan komentar