Separatisme dan Agenda Neo-Liberal

Posted: 28 Juli 2010 in Ekonomi-Politik
Tag:, , , ,

“…the very nature of economics rooted in nationalism” – Joan Robinson –

Mengamati konstelasi dan kontestasi politik di Indonesia akhir-akhir ini diwarnai ancaman disintegrasi bangsa yang akut dengan semakin meningkatnya aksi-aksi separatisme. Peristiwa penari Cakalele di Ambon yang mengibarkan bendera RMS dan maraknya tuntutan merdeka atas tanah Papua menjadi petanda adanya kebutuhan untuk konsolidasi semua elemen bangsa. Pembesaran potensi disintegrasi ini bukanlah tanpa penyebab, banyak kalangan yang menilai hal itu sebagai akibat dari sentralisme kala rezim Suharto atau tertutupnya ruang-ruang demokrasi ketika orde baru berkuasa yang melahirkan euforia kebebasan setelah digulirkannya reformasi pada 1998. Disini saya mencoba untuk melihat dari sisi lain mengapa situasi demikian terjadi secara silih berganti dalam konteks lunturnya nasionalisme akibat ekspansi besar-besaran neo-liberalisme yang menghinggapi elit hingga masyarakat dalam berbagai bentuk.

Secara mendasar, pandangan ini terkesan ekonomi sentris karena hanya melihat dari satu sisi saja (neo-liberalisme seringkali dipandang hanya bersinggungan dengan aspek ekonomi belaka), tetapi dalam hal ini ia menyebar dengan menggunakan banyak jalan. Sebagai basis dari sistem sosial, aspek ekonomi mempunyai efek multiple yang sangat berpengaruh terhadap area-area lainnya dalam masyarakat. Karena itu, meskipun hanya dipandang satu sisi tetapi sisi-sisi lainnya menjadi bagian inheren dan tidak dapat dilepaskan begitu saja. Kembali pada permasalan awal tentang proyek balkanisaasi di Indonesia, separatisme merupakan ancaman bagi masa depan keutuhan NKRI. Hal ini akan mengakibatkan hancurnya pondasi kesatuan yang sudah dirintis dalam kerangka usaha penciptaan negara Indonesia yang berdaulat oleh para founding fathers Republik ini.

Separatisme Dalam Kaca Mata Neo-Liberal

Neo-liberalisme sebagai suatu mekanisme perekonomian yang menjadi tren utama di dunia memuat pandangan bahwa peran negara dalam bidang ekonomi harus dieleminasi. Negara hanya akan menghambat kemajuan dan menciptakan distorsi terhadap pasar yang akan mengakibatkan kegagalan didalamnya. Karena itu, negara tidak boleh mengintervensi pasar karena mekanisme tangan tak tampak yang akan mengaturnya, dan hendaknya hanya menyediakan regulasi yang sekiranya dapat memperlancar perputaran modal. Dalam hal ini kita bisa melihatnya dalam kebijakan privatisasi dan pencabutan subsidi BBM, terlihat disini peran negara yang tidak ada sama sekali dalam memberikan perlindungan, hanya melayani kepentingan modal. Dapat dikatakan, Indonesia dalam krisis kedaulatan karena salah satu fungsi negara tak maksimaal, yaitu kesejahteraan.

Kondisi demikian mengakibatkan kekecewaan mendasar dari masyarakat, apa fungsi negara jika hanya jadi “tukang stempel”? Apa lebih baik dibubarkan saja, didalamnya hanya berisi korupsi? Dari sini, maka muncul rasa kekecewaan yang amat besar dari masyarakat akibat tidak optimalnya fungsi negara karena antara tidak bernegara dengan bernegara sama saja hasilnya(?). Situasi demikian mengakibatkan munculnya rasa ketidakpercayaan terhadap Pemerintah yang mengakibatkan turunnya legitimasi. Secara perlahan tapi pasti akan terakumulasi dalam bentuk kekecewaan yang lebih ekstrem, disintegrasi dengan beragam bentuk. Munculnya gerakan-gerakan separatisme dan bentuk-bentuk lainnya bukanlah tanpa sebab. Ketidakadilan dalam pemerataan pembangunan, tidak berfungsinya fungsi kesejahteraan, dan perlindungan sosial akibat perselingkuhan dengan neo-liberalisme (pasar), serta ketidakjelasan arah pembangunan karena berorientasi pada pasar (pertumbuhan) merupakan penyebabnya.

Situasi seperti ini merupakan berkah bagi neo-liberalisme untuk melebarkan sayapnya. Dengan maraknya separatisme, jika benar-benar terjadi, Indonesia akan seperti negara pisang dengan wilayah yang terfragmentasi sedemikian rupa. Dengan –skenario- negara kecil-kecil bak pisang seperti di Balkan, maka akan lebih mudah bagi mereka untuk masuk dan menguasai wilayah baru tersebut karena sebagai langkah awal, wilayah-wilayah baru tersebut membutuhkan suntikan modal besar untuk berbenah. Neo-liberalisme dengan beragam variannya masuk untuk menciptakan ketergantungan. Selain itu, neo-liberalisme dalam konteks integrasi Indonesia sangat menginginkan timbulnya disintegrasi karena dengan kesatuan yang dimiliki, intervensi terhadap negara berdaulat penuh lebih sulit dilakukan daripada mengintervensi negeri-negeri “pisang”.

Mencari Akar Penyebab

Munculnya kembali gerakan-gerakan yang mengarah pada disintegrasi bangsa di Indonesia lahir dengan segenap penyebab yang mengiringinya. Dalam hal ini, menurut pandangan saya, neo-liberalisme yang telah merasuk dalam jiwa bangsa ini menjadi salah satu penyebab kuat kehadiran usaha-usaha untuk melepaskan diri dari kerangka Republik Indonesia. Neo-liberalisme dalam konteks ini tidak hanya bermain dalam tataran ekonomi belaka, tetapi ia juga memainkan kartunya dalam arena sosial dan politik dengan metode berbeda, tergantung tempat permainan itu dilakukan. Dalam wilayah ekonomi, pelepasan modal dengan patria menjadikan nilai-nilai komunitarian dalam masyarakat terkikis. Kita bisa melihat bagaimana kebijakan privatisasi, pengambilalihan tanah-tanah komunal untuk kepentingan bisnis, dan pengusiran masyarakat adat dari tanah leluhurnya karena kaya akan sumber daya alam, serta penghapusan perlindungan sosial terhadap warga negara menyebabkan munculnya rasa ketidakpuasan tersendiri. Pemerintah tidak bergeming akan hal itu. Secara mendasar, neo-liberalisme berada dibalik layar proses-proses ini. Negara adalah entitas yang harus “dimusnahkan” karena akan menghambat serangkaian klaim-klaim kemajuan yang akan dapat dicapai. Kita tentunya akan terus ingat pernyataan bodoh wapres Jusuf kalla yang menyatakan bahwa subsidi itu mengakibatkan negara Indonesia tidak ubahnya seperti negara komunis, apa fungsi negara jika tidak melindungi warganya?

Dari sisi politik, perselingkuhan negara dengan pasar mengakibatkan negara “lebih mencintai” pemilik modal daripada rakyatnya sendiri. Disini kita bisa melihat dari sisi kebijakan yang dikeluarkan oleh Pemerintah dewasa ini. Sejumlah kebijakan diindikasikan merugikan rakyat dan menguntungkan pemodal-pemodal besar yang siap menancapkan kerajaan bisnisnya di Indonesia. Perpres No. 36 Tahun 2005, “swastanisasi” PTN melalui program BHMN (sekarang BHP), atau perlindungan khusus terhadap MNC-MNC yang menghisap kekayaan alam negeri ini. Bahkan lebih jauh lagi, penggunaan alat-alat kekerasan negara yang sah seringkali digunakan untuk melancarkan proses ini.

Dari sisi sosial, terutama faktor ideo-kultural, neo-liberalisme menjadi ide hegemonik yang menyingkirkan ide-ide lainnya, dan nota bene adalah nilai-nilai asli bangsa ini. Dibawah nilai-nilai kapitalisme, sejarah lokal dan nasional bangsa Indonesia diganti dengan sejarah internasional melalui ekspansi kapitalisme secara besar-besaran. Salah satu contohnya yaitu Mc Donald-isasi yang terjadi memberikan stimulus dalam perubahan kebudayaan, terutama gaya hidup yang berkaitan dengan penilaian tentang baik-buruk yang berstandarkan kekuatan modal. Selain itu, neo-liberalisme yang mengusung proyek homogenitasi pada dasarnya menciptakan arah yang berlainan, fragmentasi. Fenomena ini terjadi akibat desakan kuat oleh neo-liberalisme terhadap nilai-nilai lokal yang menyebabkan timbulnya kesadaran untuk mengangkat kembali isu-isu lokal dalam tataran yang lebih jauh lagi.

Dari pemaparan diatas dapat diketahui, proyek neo-liberalisme telah memberikan sumbangan besar bagi usaha penyebaran benih-benih separatisme di Indonesia. Mulai dari munculnya rasa ketidakadilan dari daerah-daerah akibat sentralisme pembangunan, pembentukan kelompok pinggiran, dan penutupan ruang bagi dunia yang lain untuk hidup didunia (Indonesia). Kondisi demikian mengakibatkan lunturnya nasionalisme Indonesia yang pada awalnya tumbuh-kembang dan berubah menjadi nasionalisme bentuk lain dengan separatismenya akibat kekecewaan terhadap pemerintah yang berimbas pada penolakan atas keberadaan NKRI. Karena itu, dapat ditarik suatu konklusi bahwa separatisme dalam berbagai variannya terbentuk oleh desakan-desakan dari neo-liberalisme yang mengikis kesatuan nilai yang mereka anut, keadilan, demokrasi, dan kebebasan sehingga muncul usaha untuk keluar dari situasi tersebut.

Perlakuan Khusus

Melihat kompleksitas masalah disintegrasi yang berakar dari neo-liberalisme, maka diperlukan suatu kebijakan khusus yang harus diambil oleh pemerintah. Transformasi dari atas perlu dilakukan karena agenda-agenda neo-liberalisme dapat dicegah dengan kebijakan Pemerintah yang nasionalistik karena aktivitas-aktivitas ekonomi secara mendasar berakar dari nasionalisme. Kita bisa melihat kebijakan era Sukarno sebagai referensi bagaimana mencegah digerogotinya kedaulatan nasional. Dengan slogan Go To Hell With Your Aids, bangsa Indonesia pada saat itu sedang berusaha menapaki jejak-jejak kemandirian sehingga negara dapat berfungsi dengan semestinya. Sebagai perbandingan, pada saat ini, kebijakan pemerintah seringkali bertabrakan dengan kepentingan rakyat, seperti: kenaikan harga BBM, Privatisasi BUMN, dan pengadaan lahan untuk kepentingan “umum” (Perpres No. 36 Tahun 2005) dapat dijadikan refleksi betapa konyolnya perselingkuhan ini. Tidak bisa dielakkan lagi apabila disintegrasi bangsa menjadi bahan pembicaraan sehari-hari akibat perselingkuhan ini, seperti: munculnya Perda-Perda syariat di berbagai daerah dan gerakan separatisme di daerah-daerah. Kondisi seperti ini tidak lain tidak bukan merupakan skenario awal dari neo-liberalis yang tidak suka akan keutuhan bangsa Indonesia dengan menciptakan kekecewaan-kekecewaan dalam masyarakat sehingga mereka mencari alternatif lain selain NKRI.

Surabaya, 10 April 2007

Tinggalkan komentar