Benarkah Berita The Age Itu Sampah? (2)

Posted: 12 Maret 2011 in Politik
Tag:, , , , , , , , , , , ,

Kemalaman, capek, dan sudah mengantuk. Itulah penyebab mengapa saya harus menulis bersambung soal berita “Abused Power” di harian The Age. Pada bagian I, saya hanya menulis soal respon dari mereka yang dituding The Age melakukan abused power, termasuk oleh orang yang berada disekitarnya. Berbagai kutipan berita dari media massa saya gunakan sebagai referensi. Untuk tulisan ini, tak hanya mengandalkan media massa, “kicauan” orang yang saya nilai “berkompeten” di jejaring sosial bakal jadi referensi.

Untuk mengetahui kebenaran suatu berita, banyak perspektif perlu diambil. Dalam konteks media massa, sepak terjangnya perlu dilirik sedemikian rupa. Tak ketinggalan juga siapa wartawan yang menulis artikel heboh tersebut. Kombinasi ini perlu dilakukan agar bisa lebih lengkap dan rinci, tak sekedar sensasi belaka. Penyandingan data di berita itu dengan fakta lainnya sangat penting agar bisa lebih dalam lagi. Namun, ini hanya usaha kecil karena bukan sebuah penelitian ilmiah.:)

The Age, Philip Dorling, dan Wikileaks

Bukan kali ini saja The Age menurunkan berita soal karut-marutnya penegakkan hukum di Indonesia. Sebelumnya, mereka pernah menurunkan berita soal dugaan korupsi (suap) pejabat Bank Indonesia dalam pengadaan uang pecahan Ro 100 ribu rupiah. Waktu itu, The Age menyebut pejabat BI berinisial “S” dan “M” menerima suap dari senilai USD 1,3 juta atau Rp 12 miliar dari Securency International and Note Printing Australia, anak usaha Reserve Bank of Australia (RBA).

Dalam hal ini, The Age menggunakan dokumen korespondensi melalui fax antara perwakilan RBA di Jakarta, Radius Christanto, dan Securency International and Note Printing Australia pada 1999. Sayangnya, dokumen tersebut tanpa kepala surat dan stempel atau penanda lain, kecuali nomor faksimile kantor PT Askomindo Dinamika dan kantor Securency di Australia. Dokumen tersebut jadi sumber utama The Age ketika menurunkan laporan tentang dugaan suap ini. Seperti halnya laporan The Age tentang “Abused Power”, pihak BI pun membantah dan mengancam tuntut The Age.

Wartawan kawakan Metta Dharmasaputra kicauannya di twitter (@metta_ds) mengajak kita semua mengritisi berita yang menghebohkan itu. Hal ini tak bisa lepas dari berita The Age sebelumnya seputar dugaan suap pejabat BI. Menurut dia, berita tersebut belum dikonfirmasi ke pihak BI padahal hal itu merupakan bagian integral dari jurnalisme investigatif. Karena itu, verifikasi jadi hal sangat penting bila ingin lebih dalam lagi. “Laporan The Age bisa benar, tapi bisa juga salah, tapi melihat artikel sblmnya tentang suap pencetakan uang, kita perlu kritis membacanya,” tuturnya.

Mengandalkan satu dokumen sebagai acuan sangat kurang memadai dalam menulis berita yang bertajuk investigasi. Verifikasi harus jadi prosedur yang wajib dilalui agar standar jurnalisme terkait keberimbangan tak tercederai. Metta mencontohkan, ia memunyai ribuan email tentang Asian Agri. Namun, karena belum diverifikasi, hal itu tak ia lansir meski sudah empat tahun disimpannya.

“Saya kritis terhadap pemberitaan The Age bukan karena pecinta SBY, JK, Taufik Kiemas. Semata-mata ingin ikut menjaga koridor jurnalistik,” tegasnya.

Di sisi lain, wartawan kawakan lainnya mencoba melihat dari sisi penulis berita. Andreas Harsono melalui twitter (@andreasharsono) berkicau seputar penulis berita tersebut, Philip Dorling. Menurut dia, Dorling merupakan wartawan senior yang sudah berumur 50 tahun. Ia seorang doktor, lulusan Flinders University dan jadi dosen di Australian Defense Force Academy. Ia tipikal wartawan yang hobi bergelut dengan dokumen dan dekat dengan Wikileaks dan punya akses dengan aktivis peniup peluit tersebut.

“Saya beberapa kali baca karya Dorling. Kesan saya dia teliti dengan data. Bahkan terkesan agak lambat, mungkin terlalu hati-hati. Dia solid, eksklusif,” paparnya.

Philip Dorling bukan hanya seorang wartawan, ia memunyai basic sejarawan yang juga menguasai persoalan pertahanan. Indonesia bukan lah tempat asing bagi Dorling. Dorling pernah menulis dua buku tentang dokumen-dokumen kemerdekaan Indonesia dan Australia, serta perjanjian Renville. Ia juga banyak meneliti pertahanan Indonesia dalam berbagai jurnal.

Sama dengan Metta, menurut Andreas, verifikasi terhadap dokumen Wikileaks sangat penting untuk dilakukan dalam kerangka jurnalistik. Perlu untuk mengonfirmasi sejumlah sumber lain agar asas keberimbangan taak terabaikan. Laporan di Wikileaks merupakan kumpulan informasi dari Jakarta dan sifatnya masih bahan mentah. Karena itu, dokumen tersebut belum bisa dipastikan kebenarannya. Idealnya, sebelum menurunkan berita tersebut, Dorling meminta tanggapan terlebih dulu pada pihak yang jadi sasaran. “Lebih penting untuk follow up informasi dari Dorling. Benarkah TK hampir mau ditangkap? Lalu SBY mencegah?” katanya.

Artikel di Harian Kompas dengan judul Wikileaks (12/3) yang ditulis Budiarto Shambazy layak jadi renungan. Wikileaks yang merupakan kawat diplomatik ditulis para diplomat berdasar konversi atau pengamatan di negara penempatan. Untuk meragukan kredibilitas kawat diplomatik tersebut bakal mengalami kesulitan. Sebagaai dokumen negara, kawat diplomatik tersebut sudah melalui berbagai tahapan (cek silang, rapat, diperiksa atasan, dan verifikasi) hingga jadi dokumen negara. ”WikiLeaks bisa jadi alat jurnalistik penting sesuai Undang-Undang Kemerdekaan Informasi,” tulis Budiarto dengan mengutip tulisan dari majalah Time. (Bersambung…)

Referensi

http://www.korantempo.com/korantempo/koran/2010/06/03/Ekonomi_dan_Bisnis/krn.20100603.202299.id.html

http://www.detiknews.com/read/2010/05/27/142549/1365174/10/bi-ancam-tuntut-the-age

http://nasional.inilah.com/read/detail/1314502/philip-dorling-sejarawan-yang-ahli-pertahanan

http://internasional.kompas.com/read/2011/03/12/06162965/WikiLeaks

Dimuat juga di Kompasiana

Tinggalkan komentar